Upacara Rambu Solo merupakan penghormatan terakhir dan sekaligus untuk
mengantarkan orang yang telah meninggal dunia menuju ke alam baka. Upacara
penghormatan ini dapat menelan biaya yang cukup besar karena dilaksanakan
secara megah. Salah satu faktor penentu besar biaya adalah status sosial
keluarga mendiang, karena semakin tinggi status sosial yang disandang maka
semakin meriah perayaan upacara Rambu
Solo.
Dalam upacara Rambu Solo, berbagai macam daging disajikan, seperti daging kerbau,
babi, ayam, dan binatang ternak lainnya. Tidak heran jika upacara ini menelan
biaya yang cukup besar, karena jumlah hewan ternak yang disembelih dapat
mencapai ratusan. Binatang ternak yang akan dikorbankan diikat pada pancang
batu yang disebut Simbuang Batu.
Setiap keluarga memiliki batu-batu ini dan diwariskan secara turun temurun
semenjak upacara Rambu Solo yang
pertama kali dilaksanakan keluarga tersebut.
Perayaan upacara Rambu
Solo dibuka dengan berkumpulnya segenap keluarga dan kerabat sang mendiang
untuk melantunkan syair kesedihan dalam tarian yang disebut mabadong. Tarian mabadong ini menyimbolkan bahwa betapa keluarga yang ditinggalkan
oleh mendiang begitu berduka sekaligus mengenang kembali-jasa-jasa beliau
semasa hidupnya. Kemudian disusul dengan ritual berikutnya yaitu ritual Ma’tundan. Ma’tundan adalah sebuah prosesi untuk membangunkan arwah untuk
diantarkan ke alam lain yaitu alam keabadian atau alam puya. Pada ritual ini suasana duka begitu terasa karena dengan
dilaksanakannya prosesi ini maka arwah mendiang pun pergi meninggalkan keluarga
untuk melanjutkan kehidupannya di alam puya.
Sementara itu disaat prosesi Ma’tundan ini berlangsung, di luar tepatnya di halaman lumbung padi
diadakan ritual tumbuk padi yang dilakukan oleh para wanita tua yang memilii
keahlian menumbuk padi di lesung. Bunyi-bunyian yang keluar dari lesung inilah
yang kemudian mengiringi jasad orang yang meningga tersebut untuk dipindahkan
dari rumah duka menuju rumah adat tongkonan untuk disemayamkan selama satu
malam.
Sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti
jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah
adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah
dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad itu harus dijaga
semalam suntuk oleh sanak keluarga.
Seiring dengan diangkatnya jasad mendiang ke rumah adat maka
digelarlah tarian adat sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada mendiang.
Kemudian kain merah yang disebut lamba-lamba sebagai lambang kebesaran suku
Toraja pun dibentangkan untuk jalan yang akan dilalui oleh mendiang menuju alam
puya.
Setelah sampai, peti jenazah pun diletakkan di bawah rumah
adat yang digunakan sebagai lumbung selama tiga malam. Peletakan jenazah ke
dalam lumbung selama tiga malam ini menandakan bahwa jasad mendiang telah
menuju pada fase kematian yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment